Sabuk Kulit

Sabuk Kulit
“Huuuh, alangkah sialnya aku, ketika keinginanku hanya menuruti egoku, kusuruh papa untuk membeli sabuk kulit warna coklat, berdiri dihadapan tiang sendirian pagi itu dengan rasa penuh malu”



            Upacara. Kala itu menjadi buah bibir di SD Negeriku. Tatkala hari Senin telah tiba, semua membicarakan upacara. Tak ada bosan-bosannya membincangkan tentang itu. Di kelas, kantin halaman, tempat parkir, semuanya membicarakannya, seraya trending topic di telingaku. Semua merasa senang ketika pra-upacara. Ribut kesana-sini, merapikan baju yang keluar, dasi yang melenceng sedikit sampai sabuk yang dipakainya. Tapi bagiku adalah hal yang menegangkan, aku takut ketika tidak membawa perlengkapan upacara satupun, aku sering mengecek mulai dari menyisir rambut hingga sepatu dan kaos kaki. Jika tidak memenuhi walaupun hanya satu perlengkapan saja, dia akan berdiri di tiang. Semua temanku senang ketika ada yang di hukum berdiri hingga jam istirahat. Menertawai dan mengejek, kebanyakan yang mendapat hukuman siswa yang tak naik kelas atau malas di muka guru. Jarang siswa yang rajin dan pintar mendapat hukuman. Namun papaku tidak menganggap serius, baginya upacara hanya suatu kegiatan semata. Tidak ada kenangan manis dari kegiatan rutin ini. Akan tetapi tidak menyalahkan ataupun mengejek yang mengadakan kegiatan yang menghormati bendera merah putih ini.
            Rabu pagi tanggal 25, saat itu matahari sudah mulai menengah, kendaraan mulai memadati jalan raya, pasar dekat rumah sudah dipenuhi banyak orang, burung dan ayam bingung mencari makan, sampai aku belum sarapan. Aku masih bingung mencari sabuk yang kesingsal, entah ku taruh mana sabuk sekolahku kemarin pulang sekolah.
Bu, tahu sabuk yang ku gantung di sebelah lemari?
Tidak tau nak, kamu taruh mana kemarin, bukannya kamu kemarin langsung ke rumah nenek?
Oh iyaa buaku lupa, ketinggalan di rumah nenek, aku taruh di atas kulkas.
Yaa sudah, nanti diambil saja pulang sekolah, buruan berangkat 15 menit lagi sudah bel
Iyaa bu, hari ini aku pake sabuk papa yaa
            Memakai sabuk besar milik papa dengan tergesa-gesa, ku ambil di kamarnya yang tak ada orangnya, Papaku masih di masjid depan rumah bersama temannya. Memakai sepatu hitam dan kaos kaki lanjut ku ambil tas biru di kursi belajar. Menurunkan sepeda kecil yang selama berjasa buatku. Ku pamitan hanya dengan teriakan,
Buu, aku berangkat dulu yaa, Assalamu’alaikum
Wa’alaikumussalam, jangan lupa ambil sabukmu di rumah nenek. Sahutnya dari dapur.
            Mengayuh sepeda dengan cepat, melewati jalan tepi sungai yang sempit dan berbatu yang menjadi jalan pintasan menuju SD ku. Tak kusangka di depan ada sepeda motor, mau gak mau aku harus mengalah karena jalan ini hanya cukup satu kendaraan saja, jika ada yang papasan salah satu harus mengalah. Di tengah jalan kecil itu, aku turun dan menepi sebelah kiri agar sepeda motor bisa lewat.
Monggo pak, ketika lewat, kusapa dia
Oo iyaa dek. Dengan senyum sedikit tanpa menoleh ke muka ku dia menjawab.
            Ku lanjutkan mengayuh dengan cepat, sesampai di SD keadaan sudah ramai, di depan masing-masing kelas dipenuhi dengan siswa. Untungnya tidak terlambat kala itu, setelah menaruh sepeda ku ulurkan tangan ke guru matematika di depan kelasku,
Nal, sabuknya kok besar dan tidak warna hitam?
Oo iyaa bu, ini milik Papaku, sabuk saya tertinggal di rumah nenek.
Sekarang tidak apa-apa, tapi besok waktu upacara tidak boleh di pake yaa,
Hhmm... InsyaAllah buu,
            Sepulang sekolah ku bergegas ke rumah nenek yang cukup jauh dari rumahku. Sinar matahari menyengat di kulit, ubun-ubun terasa hangat, dan angin hanya berhembus ketika aku melewati pepohonan. Ditemani kakak kelas perempuan, Anna namanya. Rumahnya di dearah rumah nenekku. Hanya saja dia membawa sepeda besar serta memakai jaket. Anna adalah siswi yang terkenal rajin di kelasnya. Dia sering menjadi pertugas upacara, walaupun perempuan tapi suaranya seperti tentara ketika menjadi pemimpin upacara.
Kak Anna, suaramu waktu menjadi pemimpin upacara Senin lalu seperti suara tentara, gimana sih caranya?
Mmm... ya latihan terus dan karena cita-citaku ingin menjadi polwan, Ronal.
O gitu ya kak, ya sudah aku duluan ya kak Anna.
Ya Ronal hati-hati.
            Aku belok kiri dan meninggalkan Kak Anna, rumah nenek berada disebelah tikungan jalan dipinggir sungai kecil. Rumahnya mungil, luas dan beratap genting. Dinding warna cokelat disertai tumbuhan yang ada di depan rumah membuat kebagusan rumah nenek. Aku selalu merasa senang jika pergi ke sini. Tidak berebut remot TV, biasanya makanannya enak, banyak snack, tempat tidur luas dan masih banyak lagi.
            Tanpa pikir panjang, setelah ku taruh sepeda diteras lantas langsung bergegas menuju kulkas, penuh harapan sabukku tidak dibuang oleh nenek. Kadang, nenek membuang semua barang yang tidak dibutuhkan olehnya.
Nek, sabuk saya kemarin yang ku taruh diatas kulkas dimana ya?
Serban hitam apa nak, diatas kulkas tidak ada apa-apa?
Haduh.... bukan serban nek, tapi sabuk hitam.
Ooo.. sabuk yang sudah patah-patah itu? Sudah nenek buang nak, tadi
Sudah nenek buang?
Iya nak, aku kira sabuk itu milik kakek dulu dan sudah tak layak pakai, jadi nenek buang saja karena sudah tidak ada gunanya.
(Haduuuuuh)... itu sabukku nek, ya sudah tidak apa-apa, nanti saya minta ke Papa lagi.
Maafkan Nenek nak..
            Papa yang mempunyai penghasilan pas-pasan tidak bisa membelikanku sabuk di tanggal tua, harus menunggu tanggal muda untuk bisa membelinya. Berbagai cara aku membujuknya tapi masih tetap mengutamakan membelikan sembako daripada sabuk. Terpaksa hari Senin ini masih menggunakan sabuk besar milik Papaku. Tak apalah untuk kali ini upacara pakai sabuk besar hitam ini. Sampai kapan ya aku menggunakan sabuk ini, semoga tidak lama-lama. Gumamku di hati saat upacara senin berlangsung.
            Siang sehabis pulang sekolah tiba-tiba Papaku mengajakku pergi, aku yang masih pakai seragam, sepatu, dasi, dan belum mencicipi makan siang Papa sudah menunggu di depan rumah dengan menaiki motor hitamnya. Tidak tahu mau kemana, aku ikuti saja perjalanannya. Papa yang mengetahui aku memakai sabuknya saat upacara terlihat tidak tega. Tiba-tiba perjalanan terhenti di sebuah toko seragam. Terlihat sabuk mengkilap digantung sebelah pintu masuk bagian kanan dan berwarna coklat. Aku turun dan menuju ke sabuk itu. Mataku terus melihat dan mencermati dengan sabuk kulit. Papaku yang menunggu dan duduk di atas motor, sedang asyik menerima telpon dari temannya.
Pa... aku beli yang ini boleh?
Terserah kamu, Ronal.
Yang ini saja yaa Paa
Iyaa iyaa, sebentar
            Perasaan malu disaat memakai sabuk besar milik Papa rasanya sudah semakin menghilang, tergantikan oleh bahagia yang luar biasa. Bagaimana tidak sabuk kulit yang mengkilau dan cocok di pinggangku itu sudah aku miliki, tinggal membayar. Papa yang berjalan menuju toko sambil memasukkan HP ke dalam saku bajunya. Menatapiku sambil tersenyum lebar, dan akupun membalasnya dengan sedikit tertawa. Papa sudah membayarnya, dan sabuk kulit itu kumasukkan ke dalam ranselku. Berjalan menuju rumah dengan senang hati dengan suasan cerah berawan, setengah matahari ditutupi awan, burung camar indah terbang di sekitar pepohonan, membuat perjalanan semakin terbuka, hati maupun pikiran.
            Seragam sekolah pun kini dihiasi dengan sabuk kulit berwarna coklat itu. Aku semakin percaya diri mengikuti upacara kali ini. Berangkat sekolah dengan senang hati tak lupa pamitan dengan Papa yang tak hanya membelikan sabuk akan tetapi dia telah memperhatikan aku selama ini.
            Bel masuk sudah berbunyi, Senin itu suasana cerah, jalan raya ramai, suara bising dari motor dan mobil terdengar di sekolah, matahari menampakkan semua tubuhnya, tak ada langit yang berwarna hita. Semua teman bergembira dan seperti biasanya saling berbaris dan menata diri-sendiri. tanpa pikir panjang, aku merapikan bajuku dan mengambil barisan paling depan, karena tubuhku kecil dan kini aku lebih rapi daripada senin-senin sebelumnya. Sebelumnya aku memeriksa perlengkapan apa yang belum ku pakai saat ini, aku pastikan semua sudah kupakai, mulai dari topi hingga sepatu hitam dan tak lupa sabuk kulit coklat yang telah menempel di pinggangku. Semua sudah rapi berbaris, dan kini saatnya pemeriksaan. Memeriksa siswa-siswi yang tidak memakai atribut lengkap. Guru BK itu mulai berjalan, dari ujung hingga ujung nanti. Belum ada yang terkena, artinya semuanya menggunakan atribut lengkap. Kini giliranku, lelaki bermuka tua itu tiba-tiba berhenti di depanku. Aku tersenyum kepadanya karena ku yakin dia akan melewatinya dengan perasaan senang. Ku pahami wajahnya, dan matanya pun menoleh ke sabuk baruku dengan mata menyipit,
Ronal, itu sabuk baru?
Iya pak, bagus kan?
Sungguh bagus. Tapi,
            Tiba-tiba guruku meraih tangan kananku dan membawaku maju, entah aku tak tahu apa-apa, Ya Allaah, mengapa aku dibawa kedepan, bukannya aku sudah memeriksa atribut dan aku memastikan tidak ada yang ketinggalan. Gumamku saat tangan kananku dipegang erat dan berjalan menuju tiang bendera.
Pak, pak.. ada apa ini, bukannya aku sudah memakai semuanya dengan rapi pula?
Sabuk barumu itu, bagus sekali tapi warnanya menyalahi aturan.
Loh Pak, coklat sama hitam itu beda tipis pak, bahkan tidak kelihatan dari jauh bedanya.
Iya pokoknya warna sabukmu bukan hitam. Sudah jangan banyak bicara, sekarang berdiri disini, menghadap tiang sambil tangannya hormat sampai upacara ini selesai ! Sekarang !
Pak, pak jangan hukum aku sendirian disini.


“Huuuh, guru itu, membuatku malu dihadapan banyak orang, gak akan ku lupa jasamu yang satu ini.” gumamku saat aku dihukum.


Komentar

  1. Apa tang terjadi adalah benar adanya, dan milik Allah. Oleh krena itu tetap semangat dan istiqomah, jngan sampai jatuh di lubang yang sama. Luar biasa sangat menginpirasi, teruskan berkarya.

    BalasHapus
  2. Apa tang terjadi adalah benar adanya, dan milik Allah. Oleh krena itu tetap semangat dan istiqomah, jngan sampai jatuh di lubang yang sama. Luar biasa sangat menginpirasi, teruskan berkarya.

    BalasHapus
  3. Iki Lo mii.. onok sabuk aku.. wkqk

    BalasHapus

Posting Komentar