Takut


Ppyyaaarrrrr.... Suara yang terdengar keras dan tidak bersahabat itu kembali menghantui telingaku. Kedua kalinya, aku memecahkan barang kesayangan ibu. Untuk kali pertama, aku memecahkan pigora yang tertempel di dinding yang berada di ruang tamu. Waktu itu, aku tidak sengaja, pigora itu mengenai bola yang kumainkan di dalam rumah. Memang bola itu tidak sekeras bola sepak, akan tetapi karena kerasnya bola yang kutendang, sehingga pigora yang sebelumnya terpampang bagus dan rapi, harus jatuh ke lantai. Kaca-kaca pecah berserakan dimana-mana, kertas photo yang halus menjadi kusut dan suasana berubah menjadi kekacauan. Aku takut, ketika ibu dan ayah pulang aku kena marah mereka, yang sebelumnya belum pernah marah kepadaku. Tapi aku sangat ketakutan, mungkin aku akan ketahuan perilaku yang sebenarnya, kecerobohanku memainkan bola di dalam rumah setiap mereka pergi akan ketahuan. Selama ini aku kelihatan baik dihadapan mereka. Entah perasaan dan jawaban apa saat menemui mereka nanti.
Tak lama kemudian, bel rumahku bunyi. Aku belum membersihkan pecahan kaca yang berserakan itu. Aku takut kalau yang datang itu ibu dan ayahku. Sekarang, aku tidak tau apa yang aku lakukan. Bingung dan takut menjadi satu. Bel itu terdangar lagi untuk kedua kalinya, lalu segera kupilih untuk membukakan pintu. Dengan berjalan dengan penuh kecemasan, aku berjalan pelan-pelan dan tanpa suara mendekati pintu. Sampai di depan pintu, bunyi bel terdengar lagi diikuti dengan suara ketokan pintu yang cukup keras. Ya sudah, kuputuskan untuk membukakan pintu, Memegang ganggang pintu saja tanganku sudah gemeteran apalagi kalau setelah ini bertemu dengan kedua orang tuaku. Tak menunggu lama, kubuka pintu berwarna coklat itu. Syukur Alhamdulillaah, ternyata yang datang bukan orang tuaku melainkan temanku yang sering datang ke rumahku. Perasaan khawatir telah hilang begitu saja, tetapi aku masih cemas ketika orang tuaku datang nanti. Lalu kupersilahkan masuk dan bermain di rumahku seperti biasanya. Untung saja aku tidak dikasih hukuman saat orang tuaku datang.
Saat ini, kejadian berulang lagi. Sungguh tak ku sangka sebelumnya. Bukan hanya sekedar pigora, melainkan lebih besar lagi. Sebuah televisi satu-satunya yang ada di ruang tamu mengenai bola yang tak sengaja kutendang. Memang televisi itu tidak jatuh, tapi selepas aku menendang dan terkena televisi terdengar suara kaca pecah. Ku coba untuk menyalakan si barang yang berbentuk kotak tipis itu. Dengan penuh harapan televisi itu bisa kembali menyala dengan normal. Saat kucolokkan, tanganku bergetar karena takut terjadi apa-apa dengan televisi tersebut. Memencet tombol merah dengan penuh kecemasan dengan rasa ketakutan, televisi itu menyala dengan normal, namun terlihat retakan kaca di layar. Aku masih sendirian di dalam rumah. Entah apa yang aku lakukan sekarang aku tidak tahu. Kalau hanya pigora, aku bisa membersihkannya dan bilang ke ibuku bahwa aku yang menjatuhkannya. Tetapi aku bingung dengan yang satu ini, bagaimana cara menutupi agar televisi itu tidak kelihatan retak saat menyala. Memang, saat kondisi mati televisi terlihat baik. Sampai sekarang akku bingung harus bertindak apa.
Waktu terus berjalan, kecemasanku bertambah tinggi, tidak enak melakukan sesuatu. Perut lapar yang seharusnya dipenuhi dengan makan siang, aku harus menunda tanpa sebab yang jelas. Mau tidur saja aku juga tidak bisa. Memikirkan yang seharusnya tidak menjadi tanggunganku malah menjadi beban di pikiranku. Yang seharusnya perasaan itu bahagia malah sebaliknya. Aku masih belum bisa mencari solusi untuk masalah ini.
Kriiingg...kriingg... bunyi rumahku berbunyi, aku hanya bisa berdoa agar Dia memberikanku ketenangan. Aku juga berharap tamu itu bukan ibuku, aku masih belum siap untuk menerima semua ini. Berjalan menuju pintu dengan rasa percaya diri bahwa tamunya itu bukan ibuku. Sebelum aku membuka pintu, aku mengintip lewat jendela kaca sebelah pintu. Aku kaget, ternyata yang berada di luar itu adalah ibuku. Mau tidak mau aku harus membuka pintu, aku tidak mau menjadi anak yang durhaka hanya dengan masalah ini. Dari dulu ibuku mempunyai sifat sabar, tetapi jika ada yang salah, dia mengingatkanku dengan nada tinggi. Ku buka pintu dengan perasaan yang berbohong terhadap aslinya. Aku tersenyum manis dan terlihat bangga ketika ibuku datang, ku bantu dia mengangkat tasnya. Aku membuatkan minum teh hangat untuknya, walaupun ini tidak pernah kulakukan. Aku coba untuk mengalihkan perasaanku kalau dia tau mengetahui perbuatanku dia tidak marah padaku.
Tak ku sangka, sebelum aku menyodorkan segelas teh kepada ibuku, tiba-tiba ibuku mengambil remot televisi. Maksutnya dia akan melihat dengan minum teh hangat agar kepenatannya hilang. Dia menyalakan televeisinya, dengan kagetnya dia melihat televisi yang ku pecahkan layarnya itu. Aku berhenti di perbatasan ruang tamu dan dapur, perbatasan itu dihiasi oleh tirai putih yang bisa melihat dari luar. Sambil membawa teh, ku lihat ibuku menonton televisi sendirian. Dia bermuka menyesal saat melihat apa yang dihadapannya. Aku hanya bisa berdoa agar ibuku tidak marah kepadaku. Tidak ada yang kulakukan selain menenangkan ibu dengan segelas teh manis yang kubuat ini. Langsung saja, dengan berani aku berjalan mendekat ke ibuku. Aku lupa tidak menaruh bola di kamarku, bola itu masih di bawah televisi. Entah, apa pun yang terjadi aku akan menerimanya.
Kuletakkan teh dia atas meja tamu. Ibuku terasa heran dan kelihatan aneh apa yang kulakukan.
“Makasih nak”.
“Okee bu, sama-sama” jawabku dengan gugup.
“O yaa, kok TVnya jadi seperti ini, dan itu bola kamu kok ada di bawahnya?”
“Maaf yaa buu, aku bersalah, aku bermain bola di ruang tamu dan tidak sengaja terkena TV itu” Mungkin hanya dengan mengakui yang bisa kulakukan, agar hati ibuku menerimanya.
“Jadi ini perlakuan kamu?” dengan nada marah dan menyesal, jika anaknya seperti ini perlakuannya.
“I..ii...iiyaa buu, maafkan aku bu, aku bersalah, dengan ini aku tidak akan bermain bola di dalam rumah lagi” Haduuhh... ibuku memarahi aku. Aku pun berusaha menenangkannya.
“Oo jadi selama ini kamu sering bermain bola dirumah?” masih menjawab dengan nada tinggi.
“Iiiyaa bu, maafkan aku yaa bu?” aku memohon maaf kepadanya.
“Ya udah.... tapi lain kali jangan mengulangi peerbuatan ini lagi!” walaupun dengan marah, dia memaafkanku. Aku merasa lega degan jawaban itu.
Kulihat bola yang masih berada di bawah TV, ku ambil dan langsung ku bawa ke dalam kamar. Sekarang suasana menjadi tenang, walaupun ibuku masih kelihatan marah. Aku menyadari, bahwa dengan mengakui kesalahan sendiri itu lebih baik dan bisa menurunkan masalah. Sekarang tidak ada yang ku khawatirkan lagi. Aku bisa bermain lagi tetapi harus dengan hati-hati.


                        

Komentar