Ayahku Bukan “Ayahku”


Terpaksa. Setelah wisuda SD segalanya harus kuhadapi dengan sikap dewasa. Tubuh kecil, masih berusia 12 aku dipaksa untuk meninggalkan kampung halaman. Sungguh ini terlalu dini bagiku. Berpisah dengan keluarga dan teman-teman yang mengasyikkan saat bermain tak bisa kulupakan dan kutinggalkan begitu saja
Sebelum meninggal, ayahku menitipkan aku di sebuah keluarga baru. Harapannya melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di salah satu kota besar. Tentunya jauh dari keluarga, namun Ayahku memaksa, mau tak mau aku harus berpisah, hanya satu yang bisa kupegang, “Ayah tak mungkin menyuruhku kepada hal yang buruk”
Hidup di panti asuhan aku hanya terdiam, hari-hari kulalui dengan segala perasaan asing, ayah asing, kakak asing, makan asing, kamar asing, dapur asing dan semuanya begitu asing bagiku.  Ada pengurus panti ini yang mengakui aku jadi ayahnya, dalam hati, aku tak mau ayahku hanya satu tak bisa digantikan oleh siapapun, jasanya begitu besar dalam hidupku. Memang kehendak Tuhan tidak bisa ditolak, namun dia menganggapku seorang anaknya.
Anggaplah aku sebagai pengganti ayahmu dulu nak, janganlah masa lalumu menjadi penghambat prestasimu, disini masih ada aku yang bisa menemanimu seperti ayahmu dulu, panggil aku ayah juga tak mengapa.
Dia selalu membujukku, aku hanya terdiam, menerima dengan apa adanya, tapi sebenarnya aku risih dengannya, karena bagiku dia tak pantas menjadi ayah pengganti. Kelakuannya sama, namun kelembutan yang ayah berikan sangat berbeda dengannya. Ayah baru selalu berusaha menyenangkan hatiku, hari demi hari dia selalu disampingku, menemani tidur dan mendongengkan sebuah cerita, memang persis ayahku dulu, namun dia adalah orang lain, dia bukan siapa-siapaku.
Disini, semuanya serba baru. Teman baru, sekolah baru, sepeda baru dan ayah baru. Aku masih bisa berteman dengan teman baruku, namun dengan ayah baru kujalani dengan terpaksa. Beradaptasi dalam usia kecil sangatlah sulit, namun dia selalu ada untuk membantuku dalam segala hal, seperti malaikat yang bisa terbang, kemapun aku pergi aku diikuti. Ah, siapa sih orang ini sebenarnya,
Pernah dia masuk dalam kamarku dengan pelan-pelan, melihat aku telah tidur, namun nyatanya aku hanya berpura-pura tidur. Ia mendekatiku lalu mengelus mukaku, membetulkan rambutku yang ada di dahi, meluruskan kaki kanan yang tertekuk agar bisa berselonjor dengan pulas. Sempat aku terbuai bahwa yang membenarkan ini semua adalah ayahku dulu, lelaki dengan segala ketulusannya menyayangiku, namun harus kusadari bahwa ayahku telah tiada, tidak lagi hidup di dunia ini dan tidak ada penggantinya.
Begitu pula saat ia pulang ke panti, dia selalu membawa oleh-oleh untukku. Permen, makanan ringan hingga kue tar. Ia berusaha keras untuk membahagiakanku disaat ia datang. Kadang dia membelikan baju hanya untukku, sedangkan teman yang ada di panti tidak dibelikan. Mengapa harus aku pak, buat teman baruku mana, Bukankah pengurus ini juga mengurusi semua anak yang ada di panti ini? Gumamku dalam hati. Namun semua oleh-oleh itu tak mampu menyamai oleh-oleh yang dibawa ayahku, yang semenjak kecil aku selalu dimanjakan dalam segala keadaan. Bukankah rasa kasih sayang dari orang tua sendiri lebih terasa daripada orang lain, tangannya lebih erat yang akan membuat tingkah laku anak menjadi berkarakter, kakinya bisa menjadi contoh yang akan ditiru oleh anaknya begitu pula hatinya yang selalu tulus mencintai anaknya sampai tiada. Semua saling berkilatan, bercahaya nan berkilau membentuk perasaan yang dalam yang dilimpahkan hanya kepada anaknya agar menjadi panutan dan harapan bagi bangsa dan negara.
###
Diluar langit berwajah damai semenjak senja surup diantara bangunan tinggi, gedung-gedung mengeluarkan sinar lampu yang begitu indah dipandang mata, rumah dan jalanan dipenuhi oleh kendaraan, tampak matahari mulai bersembunyi dan langit memerah jingga. Malam ini kusendiri meratapi langit dan burung camar berkeliaran, terbang baris membentuk pola yang indah dipandang mata. Berkali-kali aku merasakan kenangan indah dari ayahku, disaat makan aku merasa bersamanya disuap dan tertawa atas senda-guraunya, sholat pun aku tak bisa fokus pada Tuhan lagi-lagi selalu teringat dengan suara merdu ayah disaat ia imam masjid di depan rumah, hingga dongeng-dongeng tidur yang selalu berganti judul hanya untuk membahagiakanku dan tertidur pulas saat tidur. Semua itu yang kurasakan dalam kesamaran. Suara langkah kaki ayah saat berjalan bersama di taman begitu kurasakan, duduk diantar tumbuhan dan bunga-bunga yang warna-warni disekitarnya, dihiasi dengan kupu-kupu bergantian mengencup dan menghisap nektar yang disimpan bunga. Orang jualan es wawan yang datang menghampiri kami berdua, ayah membeli 2 buah rasa coklat, satu untukku dan sisanya untuknya. Sekalian dipotong oleh penjual sebelum kami menghisap perlahan dengan kebersamaan. Sentuhan alam yang mendalam terasa dalam benak hati, kemudian kami berdua jalan pulang dengan berjingkrak-jingkrak lalu bernyanyi-nyanyi kala seorang ayah memboncengku. Bersama-sama menjalai kesenangan dan rasa bahagia. Ah, semua itu hanya sebuah kenangan ketika ayahku masih ada.
###
Di beranda aku hanya menatap jalan-jalan yang dipadati anak kecil, mengenang masa kecilku dengan ayahku. Pengurus yang mengaku menjadi ayahku tiba-tiba datang membawa 2 bungkus nasi, aku sudah mengira pasti dia mengajakku makan bersama di beranda rumah sedang teman-temanku yang lain lagi asyik bermain PS di lantai 2. Sudahlah kuhadapi semua ini dengan terpaksa.
Yuk makan bareng nak, ini ada satu bungkus makanan kesukaanmu, nasi goreng ayam lagi hangat tanpa saus. Ucap lirih laki-laki yang selalu berperilaku sama dengan ayahku.
Baik, aku juga lapar sore ini.
Kebaikan-kebaikan yang menyerupai ayah yang ia lakukan, terlihat amat memanjakan. Aku menaruh iba padanya, kenapa hatiku seperti batu dan amat cadas tak mau menerimanya. Kebaikan yang ia lakukan hanyalah sebuah formalitas belaka, memang dia melakukan dengan dasar cinta dan kasih sayangpadaku namun aku hanya menganggap laki-laki baik seperti orang yang baru kenal.
Pak, kenapa semua ini bapak lakukan? Aku mengawali pembicaraan untuk membenarkan selama ini terjadi yang menumpuk sesal dihatiku.
Maksutmu apa Azmi?
Kenapa bapak selalu melakukan hal baik padaku sedangkan pada anak panti lain tidak? Ucapku dengan tegas agar dia bisa menjawab dengan pasti.
Laki-laki yang menyerupai ayah dan bisa kuanggap ayah palsu itu terdiam lalu tersenyum manis, berusaha santai dan menutupi sebuah kesamaran.
Semua yang kulakukan adalah keinginan keluargamu, terutama ibumu Azmi. Aku menjelma seperti ayahmu dulu agar kamu bisa menjadi anak yang pandai, berkarakter dan sholih.
Maksud bapak?
Tiba-tiba hatiku terenyuh mendengar penjelasan dari bapak pengurusku itu. Makanan yang dihadapannya telah habis sedang aku masih banyak, tak suka makan dengan ayah palsu yang beberapa kali ini menghantuiku.
Asal kamu tau saja Azmi, sebelum ayah kamu meninggal tepatnya disaat menyerahkan kamu di panti ini, dia berpesan padaku, agar menjaga kamu dengan baik, mendidik dengan hati, merawat dengan ketulusan agar kamu terbiasa dengan keharmonisan kehidupan yang saat ini terkenal dengan kekerasan. Aku dan ayahmu dulu adalah teman satu sekolah di pondok pesantren, lalu ayah kamu berkeluarga di desa sedangkan aku di kota besar yang saat ini kamu tempati. Jadi jangan heran, aku mengerti semua kelakuan dan tingkah laku ayahmu, dia begitu lembut dalam setiap saat, menghargai dan menyayangi kepada semua orang. Dan suatu ketika ayahmu bilang padaku untuk menitipkan dan menjagamu baik-baik, oleh karena itu bapak melakukan ini semua hanya untuk kepentinganmu, Azmi.
Cukup ! aku menatapnya nanar, jantungku kian berdetak kencang setelah mendengar penjelasannya.

Belum sempat aku meneruskan ucapan balasanku, aku tinggalkan makanan dan bapak sendirian di beranda rumah, kini aku mengerti ternyata ayahku begitu sayang padaku hingga ia berpesan pada temannya yang saat ini menjelma sebagai ayah baru. Namun ayahku tetap ayahku dan lelaki ini tak bisa kuanggap ayah hanya saja aku menganggap sebagai ‘ayah palsu’.

Komentar