Hari Raya Idul adha sebagai Momentum Evolusi dalam Islam



Oleh : Azmi Izuddin
(Santri Panti Pesantren Muhammadiyah Grogol, Genteng - Surabaya, Ketua PR IPM SMAM-X bidang KDI, PC IPM Genteng)
Sejarah hari raya idul adha adalah kisah Nabi Ibrahim yang diberi wahyu oleh Allah untuk menyembelih Ismail melalui mimpinya. Tidak hanya satu kali nabi Ibrahim bermimpi, beliau sampai yakin bahwasannya mimpi ini adalah suatu perintah dari Allah. Kisah ini berlanjut ketika Nabi Ibrahim bercerita tentang mimpinya kepada anak yang sangat dicintai. Bergetarlah hati kedua Nabi tersebut disaat menerima kenyataan dari Allah. Bagaimana tidak, anak yang dinanti-nantikan akan disembelih oleh ayahnya sendiri. Namun apa kata Nabi Ismail, beliau tetap tegar, sabar dan menerima pernyataan Tuhan. Kerendahan hati inilah yang harus ditiru oleh masyarakat islam zaman sekarang. Dengan kesabaran beliaulah Allah secara langsung menggantikan Nabi Ismail dengan domba untuk disembelihnya. Dengan peristiwa inilah Allah memerintahkan kepada kita untuk berkorban serta seluruh umat islam di dunia menyebutnya dengan hari raya idul adha. Hari penyembelihan hewan qurban. Sampai sekarang.
Dalam merayakan hari tersebut, ada beberapa keadaan manusia. Sebagai makhluk hidup yang diperintahkan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini juga harus menjadi makhluk sosial. Ketika manusia diberi cobaan menjadi orang kaya, bagaimana dan kemana harta itu dipergunakan. Apakah sebagai alat penindasan, pemborosan, berbuat semena-mena atau membagikan harta itu kepada sesama dan berkurban setiap tahun? Itu menurut si pemegangnya. Yang kedua, manusia diberi cobaan sebagai masyarakat miskin, ketika tidak punya apa-apa, hidup hanya pas-pasan, bahkan harta kurang mencukupi kebutuhan pokok hidupnya. Apakah orang itu akan tetap istiqomah menjalankan syariat islam sebagai mana mestinya, menabung hingga berbanting tulang agar bisa berkorban, membantu merayakan hari raya idul adha dengan meluangkan segala tenaganya ataukah hanya diam saja dirumah menunggu jatah daging untuk dirinya? Lagi-lagi menurut hatinya. Ketiga adalah orang pertengahan. Dia selalu membantu, peduli dengan permasalahan yang ada. Dia tidak berqurban namun dia menjadi penyembelih hewan qurban, dia aktif dalam hari itu, sadar apa yang diperintahkan oleh Rosul SAW. Biasanya orang yang seperti ini dirindukan oleh masyarakat setempat. Dan yang ke empat, terakhir adalah orang islam yang tidak peduli dengan hari raya besar. Dia tak mau tahu apa yang terjadi dengan lingkungannya, bahkan tidak mengetahui di kampungnya menyembelih sapi berapa, padahal dia orang islam.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa peringatan hari raya idul adha adalah waktu penghambaan manusia dengan manusia. Setelah hubungan kita dengan Allah serasa baik, habluminallaah maka seharusnya kita berbuat baik juga dan peduli dengan sesama manusia, habluminannaas. Keduanya harus imbang dan terus meningkat. Sebagai umat muslim, dengan ini harus berevolusi, membawa perubahan secara berangsur-angsur bagi hatinya dan sesama manusia juga dengan lingkungannya. Dengan sifat kerendahan hati, patuh dan sabar yang luar biasa sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail hati manusia akan selalu terasah dan selalu berlandasan  untuk berhabluminallaah dan habluminannaas.
Surabaya 30 Agustus 2017.


Komentar